Gelandangan punya laptop? Eh, maaf, bahasa saya kurang sopan. Saya pakai istilah tuna wisma saja deh. Di posting ini saya ingin berbagi beberapa foto dan kisah tentang tuna wisma yang punya laptop dan bisa online.
Dari mana seorang gelandangan memiliki uang untuk membeli laptop? Sebagian besar sudah memilikinya sebelum menjadi gelandangan, beberapa gelandangan mengaku menyisihkan tunjangan pemerintah untuk membeli laptop bekas yang murah. Bahkan ada yang mengaku bisa membeli laptop bekas berkualitas dengan uang kurang dari 200 dolar (sama kayak di sini, banyak laptop bekas tapi terawat yang dijual dengan murah).
Pada foto di bawah ini, seorang tuna wisma sedang online dengan laptopnya di sebuah mobil rongsok yang juga merupakan rumahnya. Tuna wisma berusia 64 tahun yang mengaku sebagai filsuf amatir ini bisa online 16 jam sehari dengan menggunakan laptop yang konsumsi listriknya rendah dan menghindari menonton video. Ia juga memasang antena wi-fi di mobil van rongsoknya itu agar bisa online. Ia memiliki laptop sejak sebelum ia menjadi gelandangan. Laptop, mobil van rongsok, dan beberapa helai baju merupakan harta yang ia miliki sejak menjadi gelandangan.
Tuna wisma yang berusia 37 tahun pada foto di bawah ini, sedang berlaptop ria mengelola forum penulis puisi yang diasuhnya, ia tersambung ke internet dari sebuah stasiun kereta bawah tanah yang menyediakan hotspot gratis. Ia sudah menjadi tuna wisma selama kurang lebih 2 tahun dan mangkal di bawah jembatan tol, dia hafal di mana tempat-tempat yang bisa memberinya akses nirkabel ke internet, dan tempat-tempat untuk mengisi baterai laptopnya. Ia kini punya forum komunitas baru di internet khusus untuk sesama tuna wisma di kotanya, yang anggotanya sebesar 140 orang ketika diwawancara.
Tuna wisma di foto ini memanfaatkan hotspot yang ada di perpustakaan untuk tetap bisa online. Beberapa tuna wisma yang masih memiliki kartu identitas bisa mendaftar di perpustakaan umum, untuk memperoleh akses internet.
Apakah mereka online untuk memperoleh pendapatan di internet? Entahlah. Sebagian besar sumber mengatakan bahwa mereka online hanya untuk mengisi waktu saja.
Saya bener-bener kalah, deh. Sebagian besar waktu saya di internet untuk mendapatkan penghasilan (itu pun dengan ngos-ngosan karena masih newbie alias anak bawang), nggak pernah jadi anggota forum, jarang FB-an kalo nggak ada perlunya, dan lain-lain sebagainya. Bener-bener kuper di dunia maya. Sedangkan mereka bisa berinternetan untuk membunuh waktu, bergaul sama orang banyak di dunia maya. Tapi setelah dipikir-pikir, saya nggak boleh iri karena saya punya rumah, sanak saudara, dan punya identitas.
Seorang tuna wisma mengatakan, "menjadi gelandangan itu menakutkan, tetapi bila saya berada di dunia maya, saya merasa sama dengan orang lain, tak membedakan status apakah ia gelandangan atau tidak." Weleh, weleh, ya sudahlah. Sebuah kekhawatiran pada awal maraknya alat-alat digital, yang mengatakan bahwa teknologi ini akan membuat jurang antara yang berpunya dan tidak berpunya, mungkin sedikit tertepis dengan adanya fenomena gelandangan berlaptop ini. Itu kalau di sana, di negara maju. Di negara berkembang? Entahlah!
Pada foto di bawah ini, seorang tuna wisma sedang online dengan laptopnya di sebuah mobil rongsok yang juga merupakan rumahnya. Tuna wisma berusia 64 tahun yang mengaku sebagai filsuf amatir ini bisa online 16 jam sehari dengan menggunakan laptop yang konsumsi listriknya rendah dan menghindari menonton video. Ia juga memasang antena wi-fi di mobil van rongsoknya itu agar bisa online. Ia memiliki laptop sejak sebelum ia menjadi gelandangan. Laptop, mobil van rongsok, dan beberapa helai baju merupakan harta yang ia miliki sejak menjadi gelandangan.
Tuna wisma yang berusia 37 tahun pada foto di bawah ini, sedang berlaptop ria mengelola forum penulis puisi yang diasuhnya, ia tersambung ke internet dari sebuah stasiun kereta bawah tanah yang menyediakan hotspot gratis. Ia sudah menjadi tuna wisma selama kurang lebih 2 tahun dan mangkal di bawah jembatan tol, dia hafal di mana tempat-tempat yang bisa memberinya akses nirkabel ke internet, dan tempat-tempat untuk mengisi baterai laptopnya. Ia kini punya forum komunitas baru di internet khusus untuk sesama tuna wisma di kotanya, yang anggotanya sebesar 140 orang ketika diwawancara.
Tuna wisma di foto ini memanfaatkan hotspot yang ada di perpustakaan untuk tetap bisa online. Beberapa tuna wisma yang masih memiliki kartu identitas bisa mendaftar di perpustakaan umum, untuk memperoleh akses internet.
Apakah mereka online untuk memperoleh pendapatan di internet? Entahlah. Sebagian besar sumber mengatakan bahwa mereka online hanya untuk mengisi waktu saja.
Saya bener-bener kalah, deh. Sebagian besar waktu saya di internet untuk mendapatkan penghasilan (itu pun dengan ngos-ngosan karena masih newbie alias anak bawang), nggak pernah jadi anggota forum, jarang FB-an kalo nggak ada perlunya, dan lain-lain sebagainya. Bener-bener kuper di dunia maya. Sedangkan mereka bisa berinternetan untuk membunuh waktu, bergaul sama orang banyak di dunia maya. Tapi setelah dipikir-pikir, saya nggak boleh iri karena saya punya rumah, sanak saudara, dan punya identitas.
Seorang tuna wisma mengatakan, "menjadi gelandangan itu menakutkan, tetapi bila saya berada di dunia maya, saya merasa sama dengan orang lain, tak membedakan status apakah ia gelandangan atau tidak." Weleh, weleh, ya sudahlah. Sebuah kekhawatiran pada awal maraknya alat-alat digital, yang mengatakan bahwa teknologi ini akan membuat jurang antara yang berpunya dan tidak berpunya, mungkin sedikit tertepis dengan adanya fenomena gelandangan berlaptop ini. Itu kalau di sana, di negara maju. Di negara berkembang? Entahlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar